Siapa Bilang Riba Haram ?

A. Hukum Riba

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." [Ali Imran: 130]

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, "Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja". [HR. Muslim dan Ahmad]

Hadits yang mulia ini menjelaskan secara tegas tentang keharaman riba, bahaya yang ditimbulkan bagi pribadi dan masyarakat, serta ancaman bagi mereka yang berkecimpung dalam kubangan dosa riba. Sebab Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam menyebutkan laknat bagi orang-orang yang bersyerikat di dalamnya.

Akibat dari dosa riba ini telah dirasakan oleh banyak kalangan baik muslim maupun non muslim, karena riba merupakan kezhaliman yang sangat jelas dan nyata. Sehingga wajar kalau Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallahu ‘alahi wasallam mengancam orang-orang yang telibat di dalamnya dengan berbagai ancaman. Di antaranya adalah dengan azab yang pedih, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". [QS. Al-Baqarah: 275]

Allah subhanahu wata’ala juga menghilangkan keberkahan harta dari hasil riba dan pelakunya dicap melakukan tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya, "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa". [QS. Al-Baqarah: 276]

Allah subhanahu wata’ala memerangi riba dan pelakunya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". [QS. Al-Baqarah: 279]

Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam juga bersabda, "Jauhilah tujuh dosa besar yang membawa kepada kehancuran,” lalu beliau sebutkan salah satunya adalah memakan riba. [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits yang lain Nabi shallahu ‘alahi wasallam mengancam pelaku riba dengan lebih tegas, beliau bersabda, "Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” [Shahih, Silsilah Shahihah no.1871]

B. Bentuk Riba

Riba dibagi menjadi dua bentuk;

1. Riba Nasi`ah, yang berarti mengakhirkan masa pembayaran, ini terbagi menjadi dua;

Seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada pihak lain dengan sistim pengembalian diangsur. Dengan adanya kelebihan (denda, administrasi atau bahasa lainnya) jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran. Ilustrasinya, seseorang meminjam sebesar Rp. 100 juta dengan pengembalian diangsur selama 10 bulan, sebesar Rp. 10 juta perbulannya. Jika nasabah tadi, pada angsuran tertentu tidak dapat membayar atau terlambat, maka dia terkena denda. Jika dendanya sebesar 10 %, ia harus membayar lebih, yaitu angsuran plus tambahan Rp. 1 juta. Nah denda atau bunga tamabahan inilah yang disebut riba nasi'ah

2. Riba Fadhl, yaitu jual beli dengan sistim barter pada barang yang sejenis tapi timbangannya berbeda, misalnya si A menjual 15 gram emas "perhiasan" kepada si B dengan 13 gram emas "batangan", ini adalah riba karena jenis barangnya sama tapi timbangannya berbeda. Contoh kedua; menjual dengan sistim barter 1 lembar uang kertas senilai Rp.100.000,- dengan uang kertas pecahan seribu senilai Rp.95.000,- atau 110.000,- ;

Seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada seorang nasabah dengan membayar bunga sekian persen dalam kurun waktu tertentu dan dibayar dalam bentuk angsuran. ilustrasinya; seorang nasabah meminjam uang ke salah satu bank sebanyak Rp.100 juta dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, maka setiap bulan pihak nasabah harus mencicil hutangnya Rp.11 juta, jadi selama 10 bulan itu dia harus membayar Rp.110 juta. Nah kedua contoh ini masuk dalam kategori fiba fadl.

Dan yang paling parah. Seperti yang biasa dilakukan oleh para perusahaan bank konvensional. Yaitu dengan menggabungkan dua jenis riba sekaligus. Pihak nasabah disamping membayar tambahan atau bunga dari pinjamannya, dia juga diharuskan membayar tambahan lain jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran angsuran. Semakin lama tertunda pinjaman itu, maka semakin banyak tumpukan hutang yang harus ditanggung oleh pihak nasabah. Dalam kacamata Islam riba ini disebut riba jahiliyyah. Misalnya si A meminjam uang ke bank B sebanyak Rp. 100 juta dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, setiap bulannya pihak peminjam harus mencicil Rp. 11 juta, maka selama 10 bulan itu dia paling tidak harus membayar Rp. 110 juta (riba fadhl). Tapi jika sudah jatuh tempo dan dia belum bisa melunasi hutangnya maka hutangnya berbunga 15% dan begitu seterusnya.

Dalam konsep Islam, memakan barang yang haram bukan hanya dilihat dari dzatnya saja, tapi juga dilihat dari cara mencarinya. Makanan yang pada sebenarnya halal karena dzatnya halal, bisa berubah menjadi haram manakala mendapatkannya dengan cara yang haram. Dan salah satu cara mendapatkan makanan dengan cara yang haram adalah dengan transaksi riba.

Syaikh Shalih al-Fauzan ketika ditanya tentang bekerja di perusahaan yang bertransaksi dengan riba berkata, “Bertransaksi dengan riba haram hukumnya bagi perusahaan, bank dan individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali. Sebab pegawai pada instansi dan tempat yang bertransaksi dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka di atas perbuatan dosa dan melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam,

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

"Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya". [HR. Ahmad] Beliau bersabda lagi, "Mereka itu semua sama saja.”

Dan dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agar memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak terlibat dalam kemaksiatan itu. Karena itu Islam mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik pertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materiil, perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah hadits hasan, Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan: "Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka." [HR Tirmidzi]

Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda: "Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya." [HR Abu Daud dan Ibnu Majah]

Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap: "Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yangmenerima suap, dan yang menjadi perantaranya." [HR Ibnu Hibban dan Hakim]

Maka bagi yang benar-benar sudah tertancap keimanan di dalam hatinya, maka dia akan meninggalkan segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan riba, walaupun pekerjaan itu adalah mata pencahariaannya. Dan hendaklah dia selalu ingat bahwa Allah U telah menjamin dan berjanji dengan firman-Nya (artinya), "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahi nya rizki yang tidak dia sangka-sangka". [Q,.s.ath-Thalaq: 2]

Dan sabda Nabi shallahu ‘alahi wasallam, “Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah Ta'ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya". [HR. Ahmad][1]

Maka marilah kita tinggalkan riba segala bentuk praktek, transaksi dan kerjasama yang bernuansa ribawi. Dan karena riba termasuk dalam dosa besar, maka bertaubat darinya tidaklah cukup hanya dengan istighfar tapi juga dengan taubatan Nasuha. Yang para ulama telah menyebutkan beberapa syarat taubat Nasuha berdasar pada Al Qur’an dan Hadits :

  1. menjauhkan diri dari dosa yang diperbuat dengan segera.
  2. menyesali apa yang telah berlalu.
  3. bertekat untuk tidak kembali berbuat dosa, mengembalikan hak-hak yang ia dhalimi atau minta keredlaan dari mereka.

Wallahu’musta’aan



[1] Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148