MUSIBAH SOMBONG

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dari Nabi bersabda, "tidak masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada sebesar biji sawi kesombongan." Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada orang yang suka jika pakaiannya bagus dan sendalnya bagus. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan, sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia." (HR. Muslim)

Imam Al Khottobi menjelask
an bahwa kesombongan yang menyebabkan pelakunya terhalang untuk masuk surga dengan dua penjelasan. Jika kesombongan dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, maka pelakunya tidak akan masuk surga jika dia mati di atas kesombongannya itu. Penjelasan yang kedua menerangkan bahwa seseorang baru bisa masuk surga jika dia dibersihkan dulu dari dosa sombong (mungkin yang dimaksud adalah kesombongan terhadap manusia).

Sombong dalam menentang kebenaran dapat menghilangkan keimanan dari pelakunya. Tentunya termasuk di dalamnya menolak perintah dan larangan Allah. Syaikh Abdul Majid Az Zindani ketika menjelaskan pembagian kekufuran, maka beliau menyebutkan salah satunya adalah kekufuran akibat keengganan dan kesombongan. Beliau memberikan contoh kufurnya Iblis la'natullah. Yang awalnya selalu beriman kepada Allah dan tidak pernah menolak perintahnya, akan tetapi karena keenggan dan kesombongannya terhadap satu perintah saja, yaitu sujud kepada Adam, menyebabkan dia masuk ke dalam kekafiran yang mengekalkannya di neraka.

"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat, "Sujudlah (hormati dan muliakan) kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur (sombong), dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (Al Baqoroh : 34)

Hal serupa juga dapat terjadi pada seorang muslim, yang dengan alasan sedemikian rupa, menolak untuk melaksanakan perintah Allah. Padahal satu saja yang tidak dia kerjakan, kalau didasari dengan keengganan atau penolakan terhadap perintah tersebut, masuklah dia ke dalam kufur iba' wa istikbar.

Sungguh telah terjadi kerancuan persepsi di benak kebanyakan kaum muslimin akan sifat sombong ini. Di antara mereka ada yang membatasi kesombongan dengan perilaku seseorang yang selalu berbicara tinggi, belagu, menganggap dirinya paling hebat. Maka jika seseorang sudah terlepas dari hal tersebut terhindarlah dia dari sebutan sombong, tanpa melihat perilakunya yang tidak pernah melaksanakan kewajiban dan bahkan selalu melanggar larangan. Sehingga seorang artis atau selebriti pun yang selalu menentang kebenaran dengan menolak kewajiban menutup aurat, senantiasa melanggar yang haram dengan mengumbar aurat, memperagakan adegan mesum, mencontohkan pacaran dan sex bebas dsb, bisa terhindar dari tuduhan sombong manakala dia tidak berbicara tinggi, belagu atau menganggap dirinya paling hebat. Sungguh satu kekeliruan.

Beliau, syaikh Abdul Majid Az-Zindani juga menambahkan, termasuk kekufuran karena enggan dan sombong, manakala ada sekelompok kaum muslimin, baik di rumah tanggga, masyarakat, ataupun negara, yang sudah mengetahui dan meyakini bahwa Islam dan seluruh ajarannya adalah haq (benar), kemudian mengetahui bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, Dia yang paling tahu bagaimana manusia diatur di dunia, akan tetapi kelompok muslim tersebut malah meninggalkan ajaran (syariat atau hukum) Islam atau sebagiannya, dan mengambil ajaran agama lain untuk mereka terapkan hukumnya untuk kehidupan masyarakatnya.

Kalau sudah sedemikian, maka pelakunya baik individu maupun kelompok, tidak akan selamat dari adzab Allah di dunia, terlebih di akhirat. Akan tetapi Subhanallah, terkadang kesombongan ditambah kesombongan. Sudah mendapat peringatan berkali-kali dengan adanya gempa bumi, banjir, longsor, tsunami dsb, bukannya sadar dan kembali ke jalan Allah, malah menambahkan kesombongannya menolak syariat dengan kesombongan menantang Allah. Dengan perkataan, 'semahal apapun alat pendeteksi tsunami akan kita beli, sedasyhat apapun gunung merapi akan kita hadapi dengan penanggulangan yang sudah terkodinir dengan baik'.

Masih ingatkah kesombongan kita ketika menghadapi gunung merapi yang siap memuntahkan isinya, antisipasi dengan segala cara sudah kita laksanakan, tapi bukan meletusnya gunung yang terjadi, tapi justru gempa bumi dasyhat diiringi tsunami yang menghancurkan kita.

Harus dan patut kita sadari, bahwa setiap musibah yang terjadi bukanlah sebuah bencana alam semata, tapi merupakan peringatan, ancaman atau bahkan adzab dari Allah atas penolakan terhadap perintah-perintah-Nya. Jika ada yang meragukan hal ini dengan perkataan bahwa di negara luar yang secara nyata menentang Allah dengan beragama lain tidak mendapat musibah dan adzab, maka bisa kita jawab, bahkan yang terjadi di luar sana jauh lebih mengerikan, tornado, banjir, gempa bumi jauh lebih dasyhat, akan tetapi mereka (orang-orang kafir) segera untuk menyembunyikan hal itu dan berusaha agar beritanya tidak tersebar.

Maka sadarilah, bahwa tidak ada upaya yang lebih baik untuk menghindari adzab Allah selain kembali ke jalanNya, melakasanakan seluruh perintah dan syari'at-Nya, serta meninggalkan dan mencegah seluruh yang dilarang-Nya.

Kesombongan lainnya adalah غمط الناس merendahkan orang lain, yang dapat menghalangi pelakunya untuk masuk surga disebabkan pembersihan di neraka yang harus dia terima terlebih dahulu. Kesulitan untuk menghindarinya tidak jauh berbeda dengan jenis kesombongan yang pertama. Biasanya terjadi secara individual, yang siapa saja bisa terkena, mulai rakyat jelata sampai penguasa, orang miskin sampai para borjuis, orang bodoh sampai intelektual, bahkan mungkin mereka yang terlihat tidak pantas dan tidak mungkin melakukannya juga dapat terjangkit penyakit kesombongan ini, seperti para ahli ilmu, ustadz, kyai atau ulama.

Terkadang godaan syetan untuk berlaku demikian amatlah halus sekali, sehingga banyak tak sadar kalau ia sedang merendahkan orang lain. Seperti perkataan, "kalau infaq segitu sih, saya bisa lebih banyak dari dia", ”Kalau cuma mengajar ilmu ini, saya punya metode yang lebih baik".

Atau paling tidak ujub, dengan membanggakan apa yang ia mampui atau miliki. Perkataan, "saya ini", "dulu saya", "anak saya", "bapak saya",

Lawan dari kesombongan ini adalah tawadlu'. Merendahkan hati tanpa menghinakan diri.

"Allah mencintai mereka (wali Allah) dan mereka cinta kepada-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin dan bersikap keras dan tegas kepada orang kafir." (Al Maidah : 54)

Pelaku sifat mulia ini bisa terlihat dalam kehidupannya sehari-hari. Teladannya pun cukup banyak. Lihat saja Umar bin Abdul Aziz, yang pernah didatangi tamu yang berstatus rakyat atau bawahannya. Tiba-tiba lampu mati dan saat itu beliau sedang menulis. Sang tamupun berkata, "bolehkah saya memperbaiki lampu ?", Umar pun menjawab,"tidaklah ada kemuliaan pada seseorang jika dia menjadikan tamunya sebagai pembantu". "Kalau begitu saya akan membangunkan anak-anak", Umar pun menjawab, "dia baru saja tidur, jangan dibangunkan", maka Umar berdiri kemudian untuk memperbaiki lampu tadi. Dan ketika si tamu berkata, "anda mengerjakan hal itu sendiri wahai Amirul Mukminin?, beliau pun menjawab, "aku lakukan itu aku tetap Umar, jika tak kulakukan akupun tetap Umar, tidak berkurang dariku sedikitpun, sebaik-baik orang adalah yang bertawadlu' di sisi Allah."

Maka tinggalkanlah segala bentuk kesombongan. Yang terhadap kebenaran bisa kita hindari dengan menerima dan melaksanakan kebenaran tersebut, adapun kesombongan terhadap orang lain dapat kita jauhi dengan selalu bertawadlu' atau merendah hati. Wallahulmusta'an. (El Arise Mahmud)