Pahlawan Bertopeng ?

Panas terik dan udara yang gersang tidak terlalu dirasa, ketika pasukan Islam sedang berhadap-hadapan dengan pasukan kafir Romawi. Rasa tenang dan tegang pun hadir silih berganti. Akankah kemenangan berpihak pada kaum muslimin, atau malah direbut musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak dan dilengkapi persenjataan yang jauh lebih lengkap dan canggih.

Walau sudah terbiasa dengan keadaan yang demikian, tetap saja ketegangan menghantui kubu pasukan Islam. Kepasarahan kepada Allah-lah yang dapat mengusir rasa takut yang kadang datang menyelimuti ketegangan.

Perang tanding satu lawan satu pun dimulai, sebagai tradisi global saat itu untuk mengawali peperangan.

Majulah satu tentara kafir yang langsung disambut seorang mujahid. Kedua pedang pun dihujamkan, berbagai macam jurus diaksikan, tusukan dan ayunan sama-sama dilancarkan, hingga sang mujahid roboh bercucuran darah yang tak lama berselang ia pun menemui cita-citanya, syahid Insya Allah.

Dengan congkak dan angkuhnya si tentara kafir tertawa riang, diiringi dengan sorak-sorai pasukan di belakangnya. Maka majulah mujahid kedua, tanpa merasa takut akan mengalami hal yang sama seperti saudaranya, dia langsung melompat dan menerjang. Dengan sigap, si kafir menyambutnya dengan tangkisan dan sabetan. Gemerincing suara pedang yang mengiringi kilatannya pun kembali terdengar, dan pun terhenti setelah tentara romawi tadi, yang memang ahli bertarung, dapat merobohkan mujahid kedua.

Kesombongan musuhpun bertambah, terlebih ketika jago mereka itu dapat mengalahkan mujahid berikutnya. Tiga, empat sampai enam mujahid mampu ia robohkan.

Dan ketika ia menantang mujahid selanjutnya, pasukan Islam hanya terdiam. Menunggu seorang mujahid pahlawan yang kiranya mampu mengalahkan si petarung musuh, yang mungkin berpangkat tinggi. Lama terdiam, semakin membuat keangkuhan musuh menjadi-jadi.

Hingga keluarlah sang pahlawan dari arah yang tidak diketahui. Dengan gagah menunggang kudanya, dan mengangkat pedang terhunus. Hanyasaja, selendang penutup wajah yang ia kenakan membuat kedua pasukan heran dan bertanya-tanya, siapa wajah di balik selendang.

Ia pun turun dari kudanya, dan langsung disambut serangan lawan. Dengan gesit ia mengelak, lalu berbalik menyerang layaknya elang menerjang ular. Jurus-jurus ahli nan hebat pun kembali menjadi tontonan. Keduanya bertarung dengan begitu serunya, sorak-sorai kembali terdengar.

Kehebatan dua petarung itu mengundang decak kagum kedua pasukan.

Hingga berpekiklah kaum muslimin, ALLAHU AKBAR, saat sang mujahid merobohkan musuh yang langsung tewas terkapar. Perjuangannya membuahkan hasil. Tapi selang beberapa saat, ia langsung diterjang musuh berikutnya, yang tidak seberapa jago dari yang pertama. Hingga dengan mudah sang mujahid kembali menebas kepala musuh.

Dengan gagah dan masih bertutup kepala, ia menantang petarung selanjutnya. Maka yang ketiga pun datang, tanpa basa-basi menyerang sang mujahid. Tapi masih tak sebanding, maka robohlah ia. Dan hebatnya, yang demikian berlaku pada petarung yang keempat, kelima bahkan keenam. Hingga keadaan berbalik. Tak seorang musuhpun yang berani meladeni tantangannya.

Akhirnya sang mujahid kembali menunggangi kudanya yang sejak tadi setia menunggu. Dengan cepat ia berpacu, meninggalkan sesaat kedua pasukan yang masih saling berhadapan. Ia tak ingin ada yang tahu siapa dia. Karena Ridho dan Wajah Allah saja yang ia citakan.

Walau ternyata ada mujahid lain yang mengekornya dari belakang, mengawasinya secara diam-diam. Sampai tahulah ia bahwa sang pahlawan bertutup wajah tadi adalah Abdulloh ibnu Mubaarok.

Diadopsi dari kitab Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf.